Tak kenal maka tak sayang, jadi ijinkan
saya memperkenalkan diri dulu ya, *hehe. Nama saya anthony (25), asal
dari Bandung, dan ceritaku ini berjudul hati-hati jika bicara “mereka”
juga bisa tersinggung. Tahun lalu (2016), tepatnya bulan desember (saya
lupa tanggalnya) saya dan 5 teman saya pergi liburan ke kota yang punya
julukan kota pelajar. Ya, Yogyakarta
(Jogja). Kota seni dengan sejuta keindahan, tapi kali ini saya bukan
mau cerita keindahan atau pun keseruan liburan di Jogja, jadi kayaknya
langsung ke inti cerita saja ya.
Hari
kedua kita di Jogja, kita berniat buat jalan-jalan ke Borobudur, salah
satu keajaiban dunia yang Indonesia miliki. Sesampainya disana kita
langsung naik ke atas *dong, apalagi kalau bukan foto-foto *hehe. Eh
kalian pasti pernah dengar mitos yang mengatakan jika kita bisa pegang
patung yang ada di dalam stupa konon permohonan kita akan terkabul?
Jujur, saya pribadi sih percaya gak percaya sama hal begituan.
Tapi
ya namanya anak muda jiwa usil dan penasaran saya muncul seketika, saya
langsung masukin tangan saya ke dalam stupa sambil bicara “gini doang?
Nih aku sampai lho, ah gak ada apa-apa kok”. *Jreng, jreng, cerita
horor di mulai. Pulang dari Borobudur kita langsung ke tempat lain, di
perjalanan beberapa keanehan mulai terasa. Fera, dia salah satu temanku
dan memang dia tuh orangnya gampang kena gangguan makhluk halus, apa ya
istilahnya saya lupa. Pokoknya itulah.
Di
mobil fera duduk di jok belakang bersama 1 teman saya yang lain, irvan
namanya. 3 teman saya tertidur termasuk fera. Sedang asik memandangi
jalanan kota jogja tiba-tiba kita dengar suara orang tertawa cekikikan,
tapi kita kenal suara itu, ya fera! Itu suara dia. Kita abaikan karena
kita pikir dia sedang bercanda dengan temanku yang duduk satu jok
dengannya. Selang berapa menit dia terbangun, matanya melotot kemudian
menangis.
Jelas kita yang masih
terbangun kaget, heran dan bingung apa yang terjadi. Dengan penuh rasa
panik saya bertanya “fey, fey, fey maneh kunaon?” (fey, kamu kenapa?)
tak lama dia tersadar. “Hah? aya naon sih?” (hah, ada apa sih?). Kita
semua bingung, ini anak kesambet, atau memang cuma ngigau saja. Ya
sudahlah kita lupain masalah itu dan lanjutin perjalanan. Setelah bosan
jalan-jalan, badan juga sudah capek banget kita putusin buat pulang,
kita menginap di rumah saudaranya fera, saya lupa alamatnya tapi yang
pasti kurang lebih 30 menit dari Malioboro.
Selama
perjalanaan pulang saya merasa ada yang aneh dengan fera, tatapannya
sering kosong, melamun, dan cenderung lebih sensitif. Cepat marah jika
kita bercandain. Oh mungkin dia kecapekan pikirku, karena teman saya
yang nyetir sudah capek banget, ya sudah kita berhenti dulu untuk
sekedar beristirahat. Kebetulan kita juga sudah mulai dangdutan dan kita
mampir ke sebuah tenda di pinggir jalan yang menjual bakmi jogja.
Perhatian
saya masih tertuju pada fera temanku, beda dengan fera yang biasa aku
kenal. Murung, tatapannya kosong, dan sering sekali melamun. Tapi aku
mencoba untuk positif thinking saja, mungkin memang dia sudah kecapekan.
Perut sudah terisi penuh lalu kita pun melanjutkan perjalanan, selama
perjalanan kita memang mengandalkan aplikasi peta di handphone, dan saat
itu hanya aku, anggi (temanku yang nyetir) dan desi yang masih
terbangun. Semuanya pulas tertidur.
Waktu
sudah menunjukan jam 1 pagi, tapi entah kenapa 2 aplikasi maps yang
kita gunakan mendadak error, yang satu bilang ke kanan, yang satu bilang
ke kiri. Kita bingung harus ikuti petunjuk yang mana. Intinya kita
nyasar, dan gak tahu ada dimana. Kita lurus terus ikuti jalan. Dan
sampai di sebuah jalan yang pas sekali untuk 1 ukuran mobil, gelap,
sepi, kanan kiri kita semak-semak. Kita mulai panik “anjr*t ini dimana?”
ucap anggi (sang sopir) bikin kita makin panik.
Saya
bangunkan fera, dengan harapan dia tahu dimana kita sekarang, secara
dia sudah beberapa kali ke jogja. “Fey, fey, hudang ih kita nyasar” (fey
bangun ih, kita nyasar). “Euh ganggu saja, eh ini kita dimana?”
tanyanya. “Gak tahu fey, maps error” dia terus menggerutu kemudian dia
meminta kita untuk berhenti dulu dan dia mengajukan sebuah pertanyaan
padaku. Sudah berasa narapidana lagi di interogasi *haha *hus lagi
serius. Lanjut ke cerita. “Ton disini kamu yang paling pecicilan, apa
yang sudah kamu lakukan tadi di borobudur atau di pantai?” kita memang
sempat jalan-jalan ke pantai.
Serasa
di todong ya saya bingung, “hah maksudnya apaan?” coba ingat-ingat.
Dahiku merengut tanda aku sedang mencoba untuk mengingat sesuatu. “Hm,
apa ya? Mungkin gak karena aku pegang patung stupa tadi di borobudur?”.
Terus kamu bicara sesuatu? Fera mengajukan pertanyaan lagi dengan raut
muka yang lebih serius. “Iya sih, kalau gak salah tadi aku bilang, gini
doang? Nih aku nyampe lho, ah gak ada apa-apa kok. Gitu saja, memang apa
hubungannya?” saya menjawab dengan heran. “Tuh kan maneh anthony”
(maneh = kamu), katanya aku sompral.
Setelah
tahu akar permasalahannya kita pun coba untuk melanjutkan perjalanan,
mutar-mutar, balik ke jalan yang sama, ketemu pertigaan, ketemu belokan
kita cobain semua jalan. Akhirnya kita pun menemukan jalan besar yang
sepertinya kita tahu itu dimana. Tiba di rumah sekitar jam 2 pagi,
dengan muka lusuh kita langsung menyebar ke kamar masing-masing, tinggal
fera dan anggi di halaman rumah.
“Anggi
ini spionnya lipatin, takutnya ke senggol mobil om aku” mintanya, “oh
iya fey” anggi pun menjawab. Dari dalam mobil anggi melipat spion.
“Nggi, sini deh” fera meminta anggi mendekat, ” ini apa?” tanyanya. Ada
sebuah sebuah noda di spion sebelah kanan mobil yang kita gunakan,
kebetulan mobil yang kita gunakan berwarna putih, terang saja noda itu
terlihat dengan jelas. Anggi memperhatikan noda itu, dan kemudian
menciumnya. Pelan dia menjawab “ini mah darah fey”.
Fera
terdiam, dengan muka datar ia bicara “dia ngikutin”. Anggi yang memang
penakut langsung berlari ke kamar, kita bingung kenapa dia lari-lari
“kenapa bos?” tanyaku. “Men si fera kenapa sih seram banget”, memang aya
naon sih? (memang ada apa sih?) salah satu temanku ikut bertanya. Lalu
kami keluar kamar dan menghampiri fera, “anggi ih kok aku di tinggalin?”
Fera bertanya keheranan.
“Ya maneh
mukanya seram banget, kan urang takut” (urang = saya). Saya yakin, fera
sadar gak sadar tadi bilang seperti itu. Tapi ya sudahlah kemudian kita
balik ke kamar masing-masing, kamar cewek di isi 2 orang, yaitu fera dan
desi. Dan kamar cowok di isi 4 orang saya, anggi, irvan dan hary.
Setelah bersih-bersih kita langsung merebahkan badan karena sudah capek
banget, hary langsung tertidur sedangkan aku, anggi dan irvan masih
terjaga.
Aku pikir semua ini sudah berakhir, tapi aku salah. Gangguan
mereka masih berlanjut. Suasana sedang hening, memang kamar mandi kami
berada diluar, di sebelah kamar kita tepatnya. Samar-samar terdengar
suara “tok, tok, tok, tok” seperti suara gayung
yang di pukulkan ke lantai atau tembok. Lantas aku bertanya pada anggi
dan irvan, “eh kalian dengar sesuatu gak?” tanyaku. Anggi si penakut
langsung merapatkan diri. “Ih maneh ton, sudah tahu suasana lagi seram.
Jangan nakutin deh”.
“Eh urang
serius” jawabku. Mereka bilang tak mendengar suara apapun, apa hanya aku
saja yang mendengar suara itu? Cukup lama suara itu terdengar, 5 menit
kurang lebih dan kemudian suara itu menghilang. Ya sudahlah mungkin
penghuni kost, memang kita tidur di kamar petak yang di sewakan, mencoba
berpikir positif di suasana yang lagi seram gini. Jam 3 pagi kita coba
buat pejamkan mata, berharap bisa langsung tertidur pulas karena besok
masih ada tempat yang harus kita datangi.
Memang
dasar si anggi penakut, dia terus mengganggu berusaha agar membuat aku
terus terbangun agar dia ada teman mengobrol karena dia gak bisa tidur
“ton jangan tidur dulu dong, urang takut” aku mendiamkannya hanya
bergumam dan membalikan badan, “ton atuh ih tong sare!” (ton ayolah
jangan tidur). Aku mulai merasa aneh dengan tubuhku, menggigil tapi
tidak dingin. Aku tidak merasa kedinginan tapi badanku bergerak sendiri,
mengigil parah dan aku tidak bisa kendalikan tubuhku sendiri.
“Ton
kamu kenapa?” tanya anggi dan irvan panik, ternyata irvan pun belum
bisa tidur. Mataku tidak bisa di buka, badanku bergerak sendiri, aku
yakin kalau aku sedang di ganggu. tapi mulutku masih bisa bicara, otakku
masih bisa berpikir. Aku bilang pada teman-temanku “sudah, sudah kalian
tidur saja. Aku lagi di ganggu, sudah biarin saja”. Badanku terus
mengigil tapi beda, mengigil tidak seperti ini.
Ini
lebih kayak aku susah bangun pagi terus sedang di bangunkan oleh ibuku
dengan menggoyangkan badanku, kurang lebih seperti itu. Teman-temanku
panik dan memberi saran untuk membangunkan fera dan desi. Tapi aku
bilang jangan, biarkan saja. Aku biarkan badan bergerak sendiri tanpa
ada niatan untuk melawan, karena aku takut terjadi apa-apa jika aku
mencoba melawan. Perlahan badanku mulai bisa di kendalikan setelah suara
shalawat-shalawat di masjid mulai terdengar.
Cukup
lama memang aku di ganggu, setelah di rasa semuanya sudah baik-baik
saja aku mulai mencoba membuka mata dan memastikan badanku sudah tidak
di kendalikannya, saat aku membuka mata sudah ada anggi duduk di sebelah
kananku dan irvan di sebelah kiriku, dengan muka panik dan berkeringat.
“Ton maneh gak apa-apa kan?” irvan bertanya. “Enggak bro, gak apa-apa”
jawabku. “Sudah, pada tidur. Sudah pergi kayaknya”.
Setelah
kejadian itu kita bisa tertidur dengan nyenyak, rencana berangkat pagi
pun batal karena kita semua bangun cukup siang. Sebelum berangkat
jalan-jalan lagi, kita sempat sarapan dan mengobrol dulu di teras depan
rumah, kita ceritakan semua yang sudah terjadi sama pamannya fera.
Beliau mendengarkan cerita kami dengan sangat serius, setelah kami
selesai bicara, lalu beliau memberitahu, “hati-hati bicara kalau disini,
jogja itu masih kental dengan mitos-mitosnya mau percaya atau enggak
kita harus tetap hormati”.
Kita semua
mengangguk dan janji akan lebih hati-hati dalam berbicara, semua
temanku menyalahkanku. “Si anthony sih nih biang keroknya” gelak tawa
terdengar kembali seakan lupa apa yang sudah terjadi dari kemarin.
Setelah di rasa cukup kenyang kita beranjak dan siap-siap untuk
bersenang-senang kembali. Tapi sebelum berangkat pamannya fera
menghampiriku dan memegang pundakku. Entah apa yang ia katakan, yang aku
mengerti hanya ada kata maaf dari kalimat yang ia katakan.
Mungkin
dia sedang memintakan maaf untukku agar tidak di ganggu lagi tapi
menggunakan bahasa jawa. Kemudian ia berkata “hati-hati di jalan,
mulutmu harimaumu” aku hanya bisa mengangguk “oh. Iya om” mulai dari
itu, alhamdulillah gangguan sudah berakhir. Kita bisa jalan-jalan dan
menikmati suasana Jogja tanpa ada gangguan.
*Ye,
*haha kita ambil hikmahnya saja dari kejadian ini, biar jadi pelajaran
juga. Makhluk halus itu ada, jadi kita harus hati-hati jika bicara, kita
juga harus selalu menghormati keberadaan mereka. Maaf ya kalau ada
penulisan dan kata-kata yang kurang berkenan. Terima kasih sudah
membaca.
0 Response to "Jangan Bicara Sembarangan"
Post a Comment