Pada hari itu masih siang, sekitar jam
13.00 namun kami semua langsung masuk untuk membereskan Villa itu dari
kotoran dan debu yang masih menempel. Maklum, karena sudah sangat lama
kosong. Rencananya, kami berenam, aku, lucy, mark, frans, smith dan juga
blake akan berlibur disini untuk beberapa hari. Dengan segala
perbekalan yang telah kami siapkan. Sekaligus menjadikan waktu berkumpul
buat kami. Karena sudah lama terpisah sejak masa SMP dulu.
Ruangan
demi ruangan kami bersihkan. Cukup besar juga Villa ini. Di atas ada 3
kamar tidur. Sedangkan dibawah, ada 2. Dapur terdapat dibelakang dan
ruanganya pun cukup luas. Tak terasa, waktu beranjak malam. Kelelahan
dan letih, langsung menjadi bagian yg ku rasakan. “Viony, ayo cepat
kesini. Waktunya makan malam” terdengar suara Lucy memanggilku. Aku pun
segera beranjak dari tempatku menuju ruang makan.
“Wah.
Luar biasa. Siapa yang sudah memasak sebanyak ini? Dan kelihatannya,
sungguh menggugah selera makanku” ucapku setelah melihat apa yang
tersaji diatas meja makan.
“Siapa lagi jika bukan koki kita, Smith” sahut Mark yang kelihatanya sudah tak sabar lagi untuk segera mencicipi.
“Siapa lagi jika bukan koki kita, Smith” sahut Mark yang kelihatanya sudah tak sabar lagi untuk segera mencicipi.
Maklum,
dia itu temanku yang paling doyan makan. Karena itu juga badannya
sampai kegemukan. Setelah acara makan malam selesai, kami pun kumpul
diruang tengah. Saling bercerita tentang pengalaman kami ketika
berpisah. Suasana pun menjadi lebih ramai. Karena diselingi oleh candaan
lucy. Ya, memang begitulah Lucy, dia sangat periang dan pandai membuat
hiburan sehingga membuat suasana ramai, sedangkan Mark tampak terlalu
sibuk dengan makanannya sepertinya dia tidak puas jika belum
menghabiskan semua makanan diatas meja.
Blake
terlihat seperti dulu, hanya duduk mendengarkan, ya karena dia memang
tipikal yang seperti itu pendiam. Sesekali dia melihat kearahku, namun
ketika aku memergokinya mencuri-curi pandang dia langsung menundukan
kepalanya. Sedangkan smith, nampaknya dia sedang sibuk didapur, sehingga
tidak berkumpul dan bersenang senang bersama kami.
Karena
terasa lelah yang amat sangat, aku pun berpamitan pada teman-teman
untuk istirahat. Aku pun segera menuju kamar atas yang sudah disiapkan.
Dari atas villa ini, aku masih bisa mendengar suara tertawa mereka.
Namun sebelum aku membuka pintu kamarku. “*Bruk” sebuah hantaman benda
tumpul mengenai bagian belakang leherku. Membuat aku jatuh dan hilang
kesadaran. Aku mulai terjaga dari pingsanku, yang ternyata aku telah
berada dikamarku.
“Uh. Apa aku
bermimpi?” ucapku dalam hati. Namun masih aku rasakan rasa nyeri
dibagian belakang leherku. Aku pun mulai bangkit. Untuk mengerti apa
yang aku alami. Aku buka pintu, dan mulai keluar. Saat melewati kamar
Frans, aku dengar dia sedang menyalakan televisi. Maklum, disetiap kamar
memang disediakan televisi dan pemutar DVD Player.
Saat
mendengarkan suara dari televisi tersebut, baru lah aku tahu jika Frans
sedang menonton “blue film”. Ini aku tahu dari suara rintihan yang
terdengar. Keisengan aku pun muncul. Ingin menggoda kelakuan Frans yang
tidak berubah sejak SMP. Aku tarik perlahan gagang pintu yang ternyata
tidak dikunci. Lalu aku buka spontan. “*Brak”. Oh, aku hanya bisa
terpaku. Tak disangka. Frans tewas.
Lalu
yang membuat aku ngeri dan membuat aku lemas adalah, ternyata kedua
bola mata frans ada diatas meja menghadap televisi. Sedangkan Frans
sendiri, terduduk di sofa dengan tali masih menjerat lehernya. Aku pun
segera lari kedalam kamar lucy. Langsung aku masuk, dan ternyata dia
juga tewas. Dengan luka sobekan dibibirnya, yang membuat dia seakan-akan
sedang tersenyum dengan lebarnya. Serta tertancap sebuah pisau
diperutnya.
Kepanikan, ketakutan, dan
rasa kasihan kepada temanku yang tewas mengenaskan membuat aku terduduk
lemas dipintu. Pikiranku kacau. Namun, aku mencoba bangkit. Aku
berencana segera kabur dari villa horor itu. Aku pun turun. Dan langsung
menuju ruang depan villa.
Tapi “ya
Tuhan” ucapku sambil menutup bibirku yang tidak tahu harus berkata apa.
Ketika melihat Mark berada diruang tengah. Kondisinya pun jauh lebih
mengenaskan. Perutnya yang buncit tersobek. Ususnya terbuai keluar. Lalu
didalam perutnya dimasukan berbagai makanan. Sungguh, rasa mual mulai
kurasakan. Namun sebisa mungkin aku tahan. Aku urungkan niatku untuk
kabur lewat pintu depan villa ini. Karena aku lihat, pintu telah
diblokir dengan papan.
Aku pun segera
berlari ke dapur dan mencoba lewat pintu belakang. Aku coba untuk
membuka, namun terkunci. Dan yang lebih parah, ternyata aku kena
jebakan. Gagang pintu telah di olesi oleh lem. Sehingga tanganku tak
bisa lepas. Dan kakiku yang tidak memakai alas pun telah menempel pada
lantai. Keputusasaan yang aku rasakan, hanya bisa membuat aku menangis.
Lalu aku dengar suara tertawa membahana dibelakang.
“Smith, itu kau?” tanyaku dalam ketakutan.
“Iya. Dia berada disini” jawab suara itu.
“Jadi kau yang melakukan semua ini Smith?”.
“Oh bukan, bukan dia. Tapi aku. Jika Smith yang kau cari, ini aku tunjukan”.
“*Byur”.
“Iya. Dia berada disini” jawab suara itu.
“Jadi kau yang melakukan semua ini Smith?”.
“Oh bukan, bukan dia. Tapi aku. Jika Smith yang kau cari, ini aku tunjukan”.
“*Byur”.
Dengan hanya bisa menoleh,
aku coba lihat apa yang disiramkan. Mataku langsung kututup kembali. Tak
kuat menatap lama apa yang aku lihat. Smith, ya benar, smith telah
terpotong-potong. Sepintas aku melihat kepala, tangan, kaki, dan
bagian-bagian lain telah direbus menjadi sop. Aku melihat sosok yang ada
didepanku, berjalan didalam kegelapan. Sorot lampu menyinari wajahnya,
dan aku mengenali siapa sosok itu. Astaga itu adalah Blake. Aku benar
benar tidak menyangka. Anak yang begitu pendiam telah melakukan ini
semua.
“Kenapa, kenapa kau lakukan ini. Kenapa
juga kau tidak membunuhku sejak awal tadi” tanyaku dengan isak tangis
yang tertahan. Karena melihat teman-temanku tewas mengenaskan.
“*Haha. Kalau aku bunuh kau pertama kali, lalu siapa yang akan melihat karya seniku?”.
“*Haha. Kalau aku bunuh kau pertama kali, lalu siapa yang akan melihat karya seniku?”.
“Karya seni?” tanyaku dalam ketakutanku.
“Ya. Tidak kau lihatkah teman-teman mati dalam kebahagian mereka?”.
“Apa maksudmu b*jing*n”.
“Ya. Tidak kau lihatkah teman-teman mati dalam kebahagian mereka?”.
“Apa maksudmu b*jing*n”.
“*Haha.
Ternyata kau tidak mengerti juga. Frans, aku mencongkel matanya, agar
dia bisa terus melihat film kesukaannya. Lucy, bukankah dia orang yang
suka bercanda? Maka aku menyobek bibirnya agar dia bisa selalu tersenyum
dalam kematianya. Mark, aku memasukan makanan kedalam perutnya, agar
dia tidak kelaparan di alam sana. *Haha”.
“Dan Smith?”.
“Ternyata kau ingin tahu juga ya? Bukankah kau tadi telah menyantap makanan yang lezat itu? Pasti dia akan teramat senang bila tubuhnya bisa menjadi santapan kalian. *Haha”.
“Ternyata kau ingin tahu juga ya? Bukankah kau tadi telah menyantap makanan yang lezat itu? Pasti dia akan teramat senang bila tubuhnya bisa menjadi santapan kalian. *Haha”.
mendengar
itu, perutku menjadi mual kembali. Karena membayangkan kembali kondisi
semua temanku. Terdengar suara kakinya yang perlahan mendekatiku. Aku
menoleh, yang ternyata dia membawa palu martil besar ditangannya. “Dan
kau, kau wanita yang keras kepala. Mungkin harus aku lunakan otakmu.
Agar kau bisa sedikit melunak kepada pria yang menyukaimu”. Aku melihat
palu itu mulai terayun-ayun dan. “Tidak!” *wush. “*Prak”.
0 Response to "Psikopat....."
Post a Comment